Penulis teringat akan salah satu kebiasaan yang sering dilakukan saat masih di bangku sekolah. Kebiasaan ini sering dilakukan saat penulis tidak mendapati menu makanan yang tersaji di meja makan baik di pagi, siang maupun di malam hari. Saat itu (penulis masih anak-anak kelas 8) adalah hal yang lumrah jika melampiaskan rasa lapar dengan membuat salah satu sajian mie instan. Banyak sekali variasi rasa yang ada di mie instan di negara kita. Dari yang berkuah hingga yang kering (goreng), ataupun dalam kemasan cup. Semua mie instan tersebut bagai magnet untuk kebanyakkan orang.
Salah satu kebiasaan yang penulis lakukan saat itu adalah seringnya makan mie instan. Jika menu sarapan dirasa tidak cocok, maka penulis akan mulai memasak mie instan. Begitu juga halnya untuk menu makan siang. Jika di pagi harinya sudah memakan mie instan berkuah, maka biasanya penulis akan menvariasikannya dengan memakan mie instan goreng. Hal yang sama akan terulang untuk malam harinya, biasanya mie instan ini dimakan bersamaan dengan nasi. Orang kita memang terkenal dengan semboyan "jika belum makan nasi, itu namanya belum makan".
source : https://www.flickr.com/photos/terobin/4161972896 |
Pernah sekali di pagi hari, penulis melakukan order semacam katering di pagi hari, namun makanan yang dipesan ternyata tidak cocok. Daripada sarapan itu tidak dimakan, maka katering pagi itu dihentikan. Alhasil, variasi sarapan untuk penulis berupa mie instan, susu, kopi, nasi goreng dan roti. Susu dan kopi tidak dapat mengganjal perut, jadi bisa dibilang hanya sisa mie instan, nasi goreng dan roti. Dari ketiga menu di atas, bisa dibilang mie instan yang selalu dimasak untuk dijadikan sarapan.
Kisah ini baru awal karena hal ini berlangsung sampai penulis berada di kelas 12 (SMU 3). Ini berarti selama 4 tahun terakhir di bangku sekolah, penulis dari hari senin sampai sabtu (di kota kelahiran penulis, pelajar masuk sekolah di hari sabtu) mengkonsumsi mie instan!
Sebelumnya memang sudah banyak informasi yang mengatakan bahwa memakan berlebihan apalagi itu adalah mie instan adalah tidak baik untuk tubuh. Namun, penulis sepertinya tidak menghiraukan suara-suara itu. Kebiasaan makan mie instan ini pun dibawa sampai ke bangku kuliah. Walau tidak sesering ketika masih di bangku sekolah. Di bangku kuliah, dalam seminggu paling banter habis 3-4 bungkus mie. Boleh dibilang ini adalah addict, semacam kecanduan untuk tetap menyantap makanan instan. Penulis tidak habis pikir mengapa dengan mudahnya memilih untuk menyantap makanan instan ini walau banyak pilihan menu bertebaran di luar sana.
Hingga satu hari, penulis akhirnya bisa mengakhiri kebiasaan untuk menyantap mie instan (baik yang dikemas dalam bungkusan maupun dari yang bentuk cup). Hal ini bermula dari suatu malam, sehabis pulang dari kantor, penulis malas mencari makanan di luar dan langsung pulang ke rumah. Di rumah, karena kelaparan, pada akhirnya penulis memasak mie instan (kesukaan penulis adalah mie instan goreng). Sehabis memakan mie instan, penulis merasakan panas dingin pada tubuh. Keesokan harinya penulis tidak masuk kantor karena demam. Ketika demam sudah sembuh, penulis pun tidak memakan mie instan ataupun memasaknya lagi.
Entah mengapa, namun penulis selalu menghindar jika orang rumah memasak mie instan. Sebenarnya aroma yang dihindari adalah aroma bumbu dari mie instan tersebut. Aroma memasak mie tidak sekuat aroma saat bumbu ditaburkan di atas mie. Penulis sewaktu kecil pernah bereksperimen dengan memasak mie instan, namun bumbu yang ditaburkan hanya setengah bungkus, dan rasanya kurang nendang. Sepertinya memang bumbu pada mie instan (indonesia) adalah resep rahasia kelezatan mie instan yang tidak dimiliki oleh mie instan di negara lain.
Bisa dibilang bahwa kebiasaan memakan mie instan ini berhasil diubah, dan jika bisa dikatakan berhasil dihentikan. Walau godaan selalu datang, apalagi saat teman kantor memasak mie, wanginya sampai memenuhi seisi ruangan. Cara untuk menahan godaan tersebut adalah menghindari mereka yang sedang asyik memakan mie. Jika tidak bisa dihindari, maka pikirkan tentang masih banyaknya menu alternatif di luar sana. Cara ini terbukti ampuh bagi penulis yang bisa dikatakan sudah lebih dari 6 Tahun tidak memasak mie instan dan memakan mie instan! Entah sampai kapan hal ini bisa terus berlanjut, karena memang orang indonesia terkenal doyan untuk menyantap mie instan, mau dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Dari rumah, kantor, warung maupun saat bepergian (travel ke luar kota atau ke luar negeri). Godaan terbesar tentunya datangnya dari dalam rumah, dimana orang rumah masih rajin memasak dan memakan mie instan.
Berulang kali penulis menceramahi mereka yang memakan mie instan ini, namun selalu dijawab dengan "Ini juga tidak sering, paling seminggu sekali". Penulis tidak bisa memaksa orang lain untuk menghentikan menu kesukaan alternatif bagi kebanyakkan orang, namun penulis sangat yakin bahwa sekalipun dia yang sudah terbiasa memakannya (dari senin sampai sabtu selama 4 tahun) dapat berhenti. Kebiasaan itu dapat diubah dan itu dibuktikannya sebagai salah satu kebanggaan dalam hidupnya.
Note: Kekeliruan yang sering terjadi pada mie instan adalah bahwa masyarakat cenderung mengkonsumsi "hanya" mie instan saja sebagai menu makan. Hal ini tidak bagus untuk tubuh karena menu tersebut tidak memiliki gizi yang cukup untuk tubuh. Mungkin kita pernah mendengar Menu "4 Sehat 5 Sempurna", adalah ungkapan untuk menyampaikan kepada kita bahwa gizi makanan yang kita konsumsi harus terdiri dari 4 nutrisi sehat (makanan pokok, lauk pauk, sayur-mayur dan buah-buahan) dan dengan susu akan melengkapi menjadi 5 sempurna.
Walau akhir-akhir ini banyak sekali jajanan mie instan yang diberikan telur (telur ceplok, telur bulat) dan sayur hijau, hal itu tetap tidak membenarkan bahwa menu makanan ini cukup untuk kualitas gizi tubuh kita. Oleh karena itu, perlu penyajian tambahan seperti yang terlihat pada bungkusan mie instan yang kita temui (daging ayam, telur, sayur, dll)
benar sekali, susah tidak berarti tidak mungkin, nice info
ReplyDelete