Jakarta itu kalau tidak macet dan banjir, bukan Jakarta namanya. Jakarta itu ibukota dan pusat ekonomi negara Indonesia. Sebagai salah satu kota megapolitan, Jakarta bagai magnet yang memikat banyak orang dari luar. Tidak salah jika banyak orang yang berusaha mendekatkan ke Jakarta untuk mengubah nasib mereka.
Selain tingkat popularitas yang tinggi, Jakarta sebagai kota juga memberikan tingkat tekanan hidup yang tinggi. Hal ini wajar jika melihat bagaimana banyaknya populasi masyarakat yang mengais rejeki di ibukota. Banyaknya persaingan bisa dilihat dari segala segmen. Dari tukang jual gorengan, sekolah dan universitas, rumah sakit hingga sampai mall pun berjamuran.
Ketatnya persaingan terasa saat para mahasiswa mencari kerja. Gelar S1 di jaman sekarang pun dirasa belum cukup agar bisa lolos screening awal masuk ke perusahaan. Persaingan yang ketat ini seolah olah menguatkan untaian kalimat ini "Ibukota lebih kejam dari ibu tiri". Meski banyak dikerumunin oleh sekolah dan universitas bertaraf internasional, nyatanya masih saja ada masyarakat yang sepertinya tidak mau belajar memperhatikan.
Hal yang ingin penulis kaitan di sini adalah mengenai kegunaan dan salah fungsinya lampu hazard pada kendaraan roda empat. Masyarakat kita sebenarnya sangat efektif, jika tidak ingin disebut tidak mau tahu.
Segala yang bisa digunakan, akan dieksploitasi habis habisan walau tidak untuk peruntukkannya.
Lampu hazard pada kendaraan adalah salah satu yang sering sekali dipakai. Beberapa kondisi yang "memaksa" sopir untuk menghidupkan lampu hazard adalah ketika melaju di saat hujan deras, saat melewati terowongan dan bahkan saat belok kanan atau kiri (biasanya terjadi di pertigaan atau perempatan yang ramai).
Lampu Hazard |
Lampu hazard yang dinyalakan ini diartikan oleh si sopir sebagai keadaan super darurat sehingga membutuhkan perhatian bagi pengguna jalan lain. Padahal lampu hazard hanya digunakan saat kendaraan berhenti karena alasan teknis (mogok), bukan saat sedang melaju.
Hal itu dikarenakan lampu hazard ini berkaitan dengan lampu seins (penunjuk) untuk belok kanan ataupun belok kiri. Coba kita perhatikan lampu belakang kendaraan kita, saat kita hendak berbelok kanan, lampu bagian belakang sebelah kanan akan menyala. Begitu juga saat kita hendak berbelok ke kiri, lampu bagian belakang sebelah kiri yang akan menyala. Nah, sekarang coba nyalakan lampu hazard. Kedua lampu belakang bagian kiri dan kanan akan menyala bersamaan.
Pada dasarnya, lampu hazard dinyalakan saat kendaraaan berhenti di jalanan, dan sebagai isyarat bagi kendaraan yang di belakang bahwa kendaraan ini terhenti. Nyalakan lampu hazard saat ada indikasi pengecekan yang membutuhkan eksplorasi dari sopir, sehingga kendaraan harus dialihkan ke bahu jalan.
Nah, coba kita bayangkan jika di dalam terowongan yang minim cahaya, tiba-tiba kendaraan di depan menyalakan lampu hazard. Hal itu berarti kendaraan di depan sedang mengalami masalah dan harus diberikan ruang, dan itu berarti kita sebagai pengendara di belakang harus memperlambat laju kendaraan. Nah, coba bayangkan jika hampir semua kendaraan yang melaju di dalam terowongan menyalakan lampu hazard? Selain memperlambat laju kendaraan, hal ini pun memberikan dampak lampu disco di dalam terowongan. Padahal maksud dari si sopir adalah agar kita berhati hati karena pandangan ke depan tidak seterang di luar. Jika memang ingin penerangan, cukup hidupkan lampu depan pada kendaraan dan mematikannya saat sudah di luar kendaraan. Bukankah dengan demikian lebih terang dan lebih aman?
Hal yang sama pun bisa diaplikasikan saat sedang melaju di bawah air hujan yang deras. Biasanya jika hujan deras menguyur jalanan, jarak pandang pun kemudian menjadi terbatas. Saat itu pula, si sopir menyalakan lampu hazard. Nah, kenapa bukan lampu depan ya?
Sekarang kita coba posisikan diri kita di belakang sebuah kendaraan yang sedang mencoba berbelok, namun dia menghidupkan lampu hazard. Kira-kira kita yang di belakang tahu ga ke arah mana dia akan berbelok? Kiri atau kanan? Yang tahu jawabannya hanyalah si sopir dan Tuhan.
Hm.. tapi itu kebiasaan yang sudah lazim kok di jalanan. Ibaratnya itu adalah street rule. Mau bagaimana lagi?
Justru karena kita adalah masyarakat yang berpendidikan, maka kita berkewajiban untuk menghilangkan kebiasaan jalanan yang tidak sesuai pada aturannya. Jika kita membiasakan yang salah, maka kesalahan itu akan menjadi kebiasaan yang dibenarkan. Mari kita mulai dari pribadi untuk hal yang kecil, dan semoga bisa memberikan pedoman yang benar kepada mereka yang masih buta akan informasi ini.
NB : Salah satu contoh lain pada bagian kendaraan yang sering dieksploitasi selain lampu hazard adalah klakson. Di negara lain, klakson sangat jarang dibunyikan. Hal itu dikarenakan konotasi dari bunyi klakson adalah tindakan kasar. Masyarakat kita jika laju kendaraannya terhenti sebentar saja sudah langsung main klakson. Sedangkan di negara lain, mereka bisa lebih bersabar.
0 komentar:
Post a Comment