on 1 comment

Kesehatan Itu Bukan Milik Pribadi

Kring...Kring...Kring...

Seperti itulah bunyi alarm yang sudah saya siapkan untuk membangunkan diri saya di tengah padatnya jadwal tidur akhir minggu ini. Deadline pekerjaan yang sempit, macetnya perjalanan serta panasnya terik matahari di luar akhirnya membuat tubuh ini harus menyambut teman lama yang kadang mampir jika saya lupa menjaga kondisi tubuh. Pagi itu saya kena flu ringan. Susah sekali jika harus bangun di saat waktu istirahat dirasa belum cukup. Rasanya kaki ini terlalu lemah untuk menopang tubuh bagian atasnya. 

Sempat terlewat ide agar tidak masuk ke kantor, tapi jatah ijin sudah habis untuk tahun ini. Bahkan jatah ijin saya mungkin menjadi minus jika di akhir tahun nanti dipakai untuk acara keluaga. Andai kebijakan work at home mulai berlaku tahun ini, mungkin saya dapat menggunakannya sebagai alasan ketidakhadiran. Jika sudah begitu, maka sakit adalah satu satunya alasan yang bisa digunakan, dan kenyataannya memang demikian.

Tentunya jika tidak masuk kantor, saya harus memberitahukan kepada atasan saya, agar segala keperluan dan pekerjaan dapat didelegasi sementara. Hal ini diperlukan agar administrasi pekerjaan tidak terhenti hanya dikarenakan ada personil yang tidak masuk. Cara tercepat untuk menginformasikan tentunya adalah menggunakan pesan singkat. Tidak sulit untuk menemukan handphone, karena sepanjang hari selalu berada di sekitar saya. Saya buka menu pesan singkat (SMS) dan saya teringat akan pesan terakhir yang saya kirimkan kemarin malam, yang berisi tentang update progress beberapa project.
Oh tidak, beberapa project sudah mendekati deadline, tidak sanggup rasanya jika harus menghindar dari kantor dan tidak dapat memantau perkembangan dari dekat. Singkat kata, hari itu saya akhirnya masuk kantor juga, walau dengan penampilan seperti ninja (pakai masker), guna mengejar project agar bisa selesai tepat waktu.

Hari itu aktivitas berjalan seperti biasa saja, hingga atasan saya datang dan kaget melihat saya memakai masker. Adalah hal yang umum untuk menemukan karyawan kantoran menggunakan masker saat mereka sakit, hal ini berfungsi untuk meminimalisir efek tertularnya penyakit dari penderita kepada seisi ruangan. Tidak lama kemudian, saya dipanggil oleh atasan saya ke ruangannya.

Secepat panggilan dari atasan saya, secepat itu juga saya menyiapkan beberapa update progress beberapa project yang sedang berjalan. Sudah umum di tempat saya bekerja, jika ada panggilan ke ruangan atasan, itu berarti ada masalah yang butuh didiskusikan. Jarang sekali terjadi pembicaraan yang ringan jika harus masuk ke dalam ruangannya. Biasanya mereka yang keluar dari ruangan itu membawa beban yang lebih berat dari sebelum memasuki ruangan itu. 

Apa yang saya hadapi di dalam ruangan itu adalah hal baru yang mengejutkan saya. Apa yang terjadi? Seperti inilah dialog yang berlangsung hanya sesaat itu:

"Kamu kok pakai masker hari ini? Batuk atau Flu?", tanya si atasan

"Iya pak, lagi kena flu", jawab saya. Saya sempat berpikir ini hanya basa basi dari percakapan antara bos dan karyawannya, intinya dia mau tahu apa perkembangan terbaru dari project di lapangan. Saya menunggu kalimat selanjutnya yang akan dia tanyakan, karena saya pun sudah siapkan jawaban untuknya.

"Sudah berapa hari kamu kena flu?", tanya si atasan.

Lho, basa basinya kok panjang. Biasanya cukup satu kali dialog basa basi seperti di atas, lalu diikuti tentang antuiasmenya terhadap project. Ada yang aneh. "Sebenarnya sudah merasa tidak enak dari 3 hari yang lalu pak", saya menjawab.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah apa yang akan menjadi pertimbangan saya selanjutnya atas hal yang terjadi dalam hidup kita. "Kamu pulang saja", kata si atasan.

What?! Kok di tengah kesusahan orang untuk bangun dari tempat tidurnya, saat orang itu berjuang untuk selalu bisa hadir di tengah-tengah team, berusaha untuk mengejar dan memastikan beberapa project agar bisa selesai tepat waktu, dan di waktu yang bersamaan pula tubuh orang itu tidak dalam kondisi yang fit, namun semudah itu si atasan mengucapkan kata menyakitkan seperti itu?

Apa dia tidak menyadari apa yang sudah saya lalui untuk bisa berdiri di hadapannya? Saya pun menanyakannya, "Kenapa pak? Apa saya tidak membantu bapak di sini? Bagian mana yang dirasa kurang, pak?"

"Kamu itu tidak ada gunanya di sini kalau kamu sakit", jawab si atasan.

Finally, ada sosok di kantor yang bisa mengerti perasaan seorang karyawan yang sakit. Yang rela untuk datang dengan kondisi sakit, tapi atasan ini memang TOP deh. Kekhawatiran saya perlahan pudar , sebelumnya dibuat bingung oleh pernyataan si atasan, menjadi perasaan lega.

Sebelum saya berbalik arah untuk keluar dari ruangannya, atasan saya kembali berkata "Ini bukan berarti saya care (khawatir) ke kamu, tapi saya khawatir seisi ruangan tertular karena kamu"

BAM! Butuh waktu yang lama untuk recover dari hal ini. Kita tidak membicarakan tentang penyakit flu yang saya derita, karena flu tersebut sudah sembuh beberapa hari kemudian. Namun, decision yang diambil oleh si atasan saat itu adalah bentuk satu pola pikir yang lebih mementingkan orang banyak, untuk tujuan yang lebih besar. 

Kita terlalu berpaku pada konsep tentang pentingnya arti kehadiran kita di tengah tengah mereka. Kita selalu merasa bahwa tanpa kehadiran kita, roda perusahaan tidak akan terkontrol dengan baik, jadilah kita harus selalu datang ke kantor, tanpa kita menyadari bahwa jika kita jatuh sakit, maka kita tidak akan berguna bagi team. Lebih parah lagi, teman sekantor berpeluang tertular penyakit yang kita derita. Itu adalah hal terakhir yang ingin kita hindari, karena jika terjadi maka produktivitas team semakin terganggu.

Tindakan yang lebih bijak adalah kita memulihkan diri secepatnya dan kembali beraktifitas. Di tengah panasnya kondisi di luar (musim kemarau), kita harus selalu mengutamakan kesehatan kita. Dengan bertanggung jawab atas kesehatan diri kita, secara tidak langsung kita telah menjaga produktivitas perusahaan tempat kita berkarya.

1 comment:

Powered by Blogger.