on 1 comment

Mengendalikan Perasaan Marah Milikmu, Bukan Milik Orang Lain

Siapa yang tidak pernah marah? Marah adalah lumrah bagi kita. Namun jika terlalu sering marah, itu berarti ada sesuatu dalam kehidupan kita yang harus diperbaiki. Kita tentunya tidak ingin marah di setiap harinya terkecuali jika memang itu adalah tuntutan profesi. Tapi apakah ada jabatan di perusahaan yang fungsinya khusus hanya untuk memarahi anak buahnya? Lantas, apakah fungsi team di bawah orang tersebut akan berjalan dengan baik jika atasannya lebih memusatkan perhatiannya untuk memarahi dibandingkan mengarahkan?

Seperti kebanyakan hal lainnya, jika dilakukan dalam porsi yang tidak berlebihan, maka marah merupakan lecutan yang bersifat positif. Masalahnya adalah terkadang kita tidak memiliki batasan yang pasti untuk menampung perasaan marah ini. Beberapa dari kita sering menyebutnya dengan ungkapan "Jangan coba-coba untuk menguji kesabarannya". Marah dalam hal ini lebih dekat dengan sikap sabar. Menghadapi orang yang sulit, membuat kita sering mengelus dada. Segera setelah kita kehabisan kesabaran, amarah yang menumpuk tersimpan akan diledakkan keluar.

Pertanyaannya adalah seberapa lama orang tersebut harus dalam posisi marah? Kita sering membaca dan mendengar tentang akibat dari marah, namun adakah yang bisa memberikan durasi kapan perasaan marah tersebut harus berakhir? Kadang kita bisa menyaksikan walau ucapan sudah tidak ada yang keluar dari mulut, namun ada beberapa orang yang tidak cukup hanya melampiaskan marahnya, bahkan harus memendamnya!

sumber: https://pixabay.com/en/anger-angry-bad-burn-dangerous-18658/
Ada hal lain selain mengenali batasan limit kesabaran dalam mengendalikan amarah. Karena saat kita memarahi orang, secara langsung ataupun tidak langsung, hal ini akan memulai rantai ledakan emosi yang tidak dapat dikendalikan. Beberapa hari yang lalu, paman saya bercerita tentang bagaimana dia mendapati sudut pandang yang berbeda saat berada di jalanan.

Saat itu memang kondisi jalan di tol memang sangat padat. Belum lagi hujan turun dengan derasnya. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 21:00. Rutinitas pekerjaan adalah hal yang tidak bisa dihindari bagi kebanyakkan pekerja di ibukota. Tidak terkecuali hal ini pun menimpa paman saya. Karena sudah hapal betul jalur pulangnya, maka dia mengambil jalur cepat. Selepas bottleneck saat bayar tol, seperti biasa paman saya langsung tancap gas. Sejam lebih bermacet ria di jalan tol membuat adrenalinnya memuncak saat melihat jalan di depan sedikit lapang.

Namun kondisi jalan memang tidak dapat diperkirakan. Sesaat sebelumnya jalanan bisa dipacu dengan kecepatan 90 Km/Jam, namun semenit kemudian bisa jadi jalanan di depan akan mendadak berhenti tidak jelas mengapa. Hal itu pula yang terjadi di malam tersebut. Kendaraan yang dipacunya dengan sangat tinggi harus dihentikan apabila ingin menghindari tabrakan dengan mobil di depannya. Beruntung bagi paman saya, karena dia mengerahkan segenap kemampuan menyetirnya untuk segera berhenti tepat di belakang mobil di depannya. Saat mobilnya berhasil berhenti, dia dapat mendengar detak jantungnya dan tarikkan nafasnya yang cepat. Segera dalam pikirannya, muncul perasaan syukur karena berhasil menghindari tabrakan. Dalam pikirannya sudah terbayang berapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan apabila dirinya menabrak mobil di depannya.

Belum selesai pikirannya menghitung betapa syukurnya dia berhasil menghentikan laju mobilnya, terdengar suara tabrakan yang besar. Posisi duduk di kemudi seperti bergeser terdorong ke depan. Apa yang sedang terjadi?? Dia sangat yakin jika dirinya berhasil berhenti di belakang mobil, namun secepat itu pula dirinya dapat melihat bahwa bagian belakang mobilnya ditabrak oleh mobil dibelakangnya. Malam itu memang malam yang panjang baginya. Dirinya harus mengurus beberapa lecet yang dideritanya dan keesokkan harinya harus klaim ke asuransi mobil untuk perbaikkan mobilnya. Itu belum termasuk urusan salah siapa yang berhenti mendadak, sebelum kedua belah pihak mengurusnya lebih jauh, mereka memilih untuk berdamai di tempat dengan menukar kartu nama.

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, paman saya tidak habis pikir mengapa hal tersebut bisa menimpanya. Paman saya akhirnya sadar bahwa bukan hanya dia seorang yang memiliki andil dalam keselamatan berkendaraan, namun orang lain juga sebagai pengguna jalan raya. Sekalipun dirinya berhasil menghentikan laju kendaraannya agar tidak bertabrakan dengan kendaraan di depannya, dia tidak memiliki kemudi terhadap laju kendaraan di belakangnya. Dia sadar benar bahwa kendaraan di belakangnya pun memacu dengan cepat karena dirinya pun memacunya dengan cepat.

Tidaklah benar untuk menghakimi orang lain agar berkendaraan dengan pelan sedangkan dirinya sendiri memacu dengan cepat. Sekali lagi, dia pun tidak memiliki kendali terhadap pedal kendaraan lainnya. Hal yang sama dapat diaplikasikan terhadap perasaan marah yang kita lampiaskan. Beberapa dari kita mungkin dapat menghentikan amarah sebelum mengarah ke arah yang lebih buruk, namun bagi mereka yang berada di sekitar kita saat kita sedang marah belum tentu dapat mengendalikan amarah yang meledak tersebut.

Jadi sebelum kita marah, pahami dahulu dampak yang akan terjadi. Karena belum tentu kita bisa mengendalikan amarah orang lain.


1 comment:

Powered by Blogger.